Inisiasi, bagi saya, bukan sekadar mengenalkan -seperti definisi aslinya dalam kamus-. Ia juga bukan sekadar konsep yang bebas nilai dengan kenyataan di lapangan. Inisiasi bicara soal makna, juga berujar soal keterikatan emosi.
Oleh Hendy Adhitya
Sepertinya memang harus ada yang dijelaskan di sini. Berkait tentang isu yang beredar bahwa inisiasi, Ospek, MOS dan berbagai istilah lainnya, selalu dianggap sebagai momok. Dia dinilai sebagai sesuatu yang mengerikan. Ibarat mimpi buruk yang sebisa mungkin harus dihindari.
Tapi memang kita tak bisa menyangkal hal itu. Penerapan di masing-masing tempat juga punya ciri khasnya masing-masing. Jika memang berbeda seperti itu, maka sangat disayangkan masih ada saja pihak yang menggeneralisasi inisiasi sebagai kengerian, kekerasan dan dehumanisasi.
Inisiasi sejatinya, memang hanya bersifat mengenalkan. Penerapannya di lapangan bisa jadi diaplikasikan lewat acara-acara semacam “apa yang ada di UAJY”. Istilahnya, hal-hal yang disampaikan bersifat informatif dan seperlunya saja. Sifatnya sangat praktis dan tak neko-neko. Misalnya seperti hal-hal apa saja yang kira-kira bisa dimanfaatkan mahasiswa baru (maba) di tempat kuliahnya ini.
Namun inisiasi model itu tentunya punya kekurangan sendiri. Berdasarkan evaluasi dua tahun lalu, dimana saya juga ikut berkecimpung sebagai panitia, program acara pengenalan (informatif) punya dampak membuat bosan mahasiswa baru. Karena acara hanya bersifat komunikasi satu arah (meski ada kesempatan bertanya), dan cenderung statis.
Saya pun tak berani menjamin (walau ada buku panduan) informasi-informasi seperti itu bisa nempel lekat dalam ingatan maba usai inisiasi.
Mewujudkan inisiasi yang bermakna dan humanis
Inisiasi dalam praktiknya di lapangan, sudah saatnya bersiap mengalami ide perubahan. Berkaca melihat hasil evaluasi beberapa tahun lalu, semestinya nilai-nilai perbaikan dan “menjadi lebih baik dari hari kemarin” mulai diterapkan. Tentunya ini tak cuma bersifat momentum, ini harus kontinyu.
Jika inisiasi dianggap sebagai momok, maka ubahlah konsep dan praktik acaranya melawan stigma itu. Hal ini diperlukan, mengingat tren maba mengikuti inisiasi akhir-akhir ini terlihat ogah-ogahan.
Namun bukan berarti demi melawan stigma, beberapa acara “standar”nya diturunkan. Memang perlu ada kompromi, tapi untuk hal ini posisi plot-plot acara setidaknya harus berpatokan dahulu kepada “konsep”, “makna”, serta “tujuan” yang ingin dicapainya.
Cetak biru visi dan misi UAJY yang berniat membentuk mahasiswa humanis tentunya tak bisa didiskreditkan begitu saja. Inisiasi seharusnya bisa menjadi wadah buat calon mahasiswa merasakan seperti apa konsep dan praktik “memanusiakan manusia” itu. Maka, tentu saja segala bentuk dehumanisasi, seperti kekerasan fisik, penggojlokan, dan semacamnya musti disingkirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar