Minggu, 23 Agustus 2009

Unek-Unek Inisiasi Susulan

ditulis oleh Herdi Wongso

Hari ini adalah hari Sabtu, tepatnya tanggal 22 Agustus 2009 merupakan hari Inisiasi Susulan atau inisiasi gelombang ke 2 di UAJY. Memang hari ini melelahkan, dimulai dari bangun tidur yang harus lebih pagi dari biasanya karena sebelum inisiasi diadakan, para Mahasiswa Baru diberitahukan untuk berkumpul di kampus FISIP setengah jam sebelum acara inisiasi dimulai yaitu pukul enam pagi. Setelah berkumpul dan berbaris, kami langsung saja berbaris menuju lapangan depan kampus 2 UAJY. Kami mendapatkan beberapa pengarahan dan sampai pada akhirnya kami dipersilahkan untuk naik ke ruang auditorium untuk mendengarkan pengarahan serta pengenalan-pengenalan seputar lingkungan UAJY.

Pada saat pengarahan dan pengenalan seputar kampus UAJY ini banyak peserta yang mengeluh dan berbisik, “Cape yahh!! Ngantuq banget deh gw!!” hal ini juga ada terlintas dalam benak pikiranku. Aku merasakan bahwa inisiasi susulan ini berkesan membosankan karena hanya duduk mendengarkan penjelasan-penjelasan dan makan secara terus menerus. Justru yang saya harapkan pada inisiasi ini adalah supaya bisa berkenalan dengan teman-teman yang belum pernah dikenali sebelumnya, tapi kenyataannya malah mendengarkan penjelasan-penjelasan yang membosankan dan hal itu sebenarnya bisa dibaca sendiri oleh para mahasiswa baru lewat buku pedoman atau selebaran-selebaran lainnya.

Jikalau inisiasi hanya untuk datang mendengarkan pengenalan seputar universitas saja tanpa suasana pengakraban bagi mahasiswa baru sama saja hasilnya “NOL BESAR”. Jikalau hanya sekedar makan dan duduk-duduk sambil mendengarkan orang lain berbicara hal ini juga bisa dilakukan di rumah tanpa perlu datang ke universitas. Menurut saya yang penting dalam inisiasi adalah pengenalan lingkungan baru dan pengenalan pada rekan-rekan semua lewat pengakraban seperti diselingi permainan, diskusi, atau hal lainnya yang dapat membuat para mahasiswa baru saling mengenal sehingga bisa terjalin persahabatan yang baik dari semua mahasiswa baik yang sudah terlebih dahulu berkuliah (senior) dengan para mahasiswa baru atau dengan sesama mahasiswa baru. Saya rasa hal itu yang wajib ada dalam sebuah inisiasi.

Adapun saya merasa aneh ketika pertama kali saya masuk kuliah tanggal 18 Agustus 2009 yang lalu, dimana saya belum mengenal siapapun yang ada di kampus itu, sedangkan ada yang sudah saling mengenal lewat inisiasi pertama. Mereka ada yang berkata bahwa saling mengenal lewat permainan, diskusi forum yang diberikan oleh panitia inisiasi fakultasnya. Jadi jika diselingi oleh pengakraban saya rasa para mahasiswa baru akan hilang sejenak rasa bosan yang menghampiri dan melupakan sejenak masalah yang ada dipikirannya karena adanya hal-hal yang bisa membuatnya kembali fresh lewat pengakraban antar mahasiswa baru dengan sesamanya ataupun dengan kakak-kakak angkatan yang bergabung dalam panitia inisiasi. Hal ini baik adanya agar tercipta hubungan yang harmonis kepada seluruh keluarga besar UAJY.

Saya berharap untuk kedepannya inisiasi hanya diadakan satu kali saja agar para mahasiswa baru bisa lebih saling mengenal dan tidak mengelompok melainkan bersatu padu menjadi satu menjadi keluarga besar UAJY..

Terima kasih…

Selasa, 11 Agustus 2009

Paper Hari Ini:Bolehkah Aku Membayangkan dan Sedikit Bercerita?

ditulis oleh Anmaria Redi Pinta Dasyanti-Canopus Family

FISIPku seperti Makan Sate

Satu, dua, tiga, empat, habislah sudah! Di angka empat atau lebih tepatnya di tahun keempat kata ayahku aku harus lulus dalam waktu empat tahun saja. Jadi bayanganku, nantinya aku akan belajar disana sebaik-baiknya agar aku tidak membuat mereka kecewa dan merasa terbebani karena aku. Dan bayanganku nantinya aku akan belajar di sebuah ruangan tanpa memakai seragam seperti yang sudah aku alami selama empat belas tahun ini. Angan gilaku membayangkan kalau nantinya dari tahun pertama sampai ”tahun sateku” Tahun keempat ada seorang yang selalu duduk di sampingku selama aku menuntut ilmu.Waaaa...senangnya.

FISIPku seperti Bermain Bilyar

Aku harus berkonsentrasi! Ya HARUS! Walaupun kata orang FISIP (komunikasi) itu santai, tapi tak pantas aku menyepelekan begitu saja. Di sini pasti banyak bola yang harus aku masukkan. Disini pasti banyak hal yang harus aku tuntaskan. Bola-bola itu tidak bisa masuk begitu saja. Hal-hal atau masa-masa suka duka selama aku disini aku tak yakin mampu melewatinya, menyelesaikannya. Di dunia FISIP ini dalam bayanganku akan banyak sekali perpanjangan dari tangan Tuhan yang akan membantu aku dalam melewati semua itu, baik menemaniku saat aku bersuka, atau mengangkatku saat aku jatuh ke dalam duka. Dan suatu saat nanti tak akan meninggalkanku begitu saja apapun yang terjadi.

Aku Akan Kecewa di FISIP

Sudah pasti! Mungkin karena beberapa individu yang ada disana nantinya. Mungkin ngak kenal tapi ulahnya bikin mata berkompromi dengan mulut untuk bergosip. Individu-individu yang tidak sejalan dengan aku pasti ada. Mungkin aku akan bersikap biasa-biasa saja dengan mereka. Tapi sebenarnya itu semua hanya demi menjaga hati satu sama lain dan tidak menambah masalah untuk diriku pribadi...munkin akan ada pihak-pihak yang akan aku kecewakan nantinya. Aku akan mengetahui itu lalu meminta maaf atau mungkin juga aku tidak akan mengetahuinya dan tanpa aku sadari aku kan menjadi gunjingan di banyak mulut di FISIP. Entahlah. Semoga bayangan-bayangan aneh tentang kekecawaan yang satu ini tidak akan terjadai selama aku kuliah.

Dalam gedung yang besar ini, tiap sudutnya pasti akan memberiku cerita tersendiri. Salah satunya bayanganku, mungkin disuatu sudut entah dimana akan kulepaskan tawa palig ceria bersama teman-teman yang aku harap semkain hari semakin bertambahlah teman-temanku. Atau kusunggingkan senyum yang palig manis untuk mereka yang spesial. Nantinya ada suatu tampat pula yang akan menjadi saksi atas kelakuan-kelakuan ku selama aku belajar di FISIP. Meja,kursi,papan, dan lain-lain disuatu tempat yang biasanya aku sebut sebagai kelas. Dosen-dosen dengan berbagai karakter yang entah seperti apa pun akan ada bersama aku dan yang lainnya di FISIP nanti.
Jika ditanya lebih dalam lagi tentang ”Apa bayangan anda tentang dunia FISIP yang akan anda masuki?” maka jawabanku adalah, pasti dengan aku kuliah di FISIP (komunikasi) aku bisa bekerja di dunia entertainment, karena dengan bekal ilmu-ilmu yang akan diajarkan nantinya pasti akan sangat berguna. Ya memang sejak lama aku bercita-cita ingin bekerja dan mendapatkan uang bekal kreativitas yang aku miliki ataupun hobiku yang ”suka ngomong” atau yang sering disebut cerewet. Di FISIP nantinya aku berharap nantinu aku mendapatkan banyak teman yang sekaligus bisa dijadikan link yang berguna untuk masa depanku nantinya.

Dalam bayanganku, di dunia FISIP itu bagaikan sebuah bagian yang kecil dari hidupku, namun sangat bermanfaat nantinya. Memang disini kreativitas dan rasa percaya diriku harus lebih ditingkatkan. Jika nantinya aku tidak mau berusaha atau kekurangan rasa percaya diri, maka dibanding yang lain aku tidak ada apa-apanya. Maka dari itu, nanti tidak ada yang harus aku takutkan untuk meluapkan segala ekspresiku pada tempat yang sesuai. Walaupun aku belum pernah menjalani kehidupan di dunia FISIP, namun dengan segenap keyakinan aku tahu bahwa dunia ini tidak akan menjadi buruk kalau dijalani dengan penuh rasa mantap dan gembira. Dan dengan usaha yang maksimal aku akan mendapatkan sekaligus menjadi yang terbaik bagi aku, kamu, kita.

Kamis, 30 Juli 2009

Inisiasi


ditulis oleh Ining Isaias

“Apa yang paling Anda ingat dari inisiasi?” tanya Bu Tyas dalam perjalanan setelah mengantar seorang teman yang sakit ke Panti Rapih. Tentang perasaan, yang saya ingat adalah bahwa itu hari-hari yang segera ingin kulewati. Bukan hanya karena ingin segera masuk ke dalam ruang kuliah. Itu juga karena acara tersebut beberapa membosankan, beberapa saja menarik, dan yang paling dihindari setiap orang ialah bahwa itu bikin stres, dalam arti menciptakan – entah bagaimana – ketegangan.

Acara joget-joget dan nyanyi-nyanyi bersama di akhir itu mengharukan, memang. Ada ketidaksalingkenalan yang cair Ada energi kegembiraan yang lepas.

Dalam dua tahun terakhir ini, menjelang bulan Agustus, saya sering gelisah. Saya merasa ada beberapa hal yang tidak tepat dalam acara inisiasi. Inisiasi FISIP Atma Jaya, bagi saya, hanyalah semacam ritual. Itu kesimpulan saya dari pengalaman menjadi peserta inisiasi, dan dua kali menjadi panitia. Tentunya, saya ikut andil dalam pelanggengan ritual itu.

Pada dua tahun lalu, saya tidak cukup berani ambil risiko. Dalam kepanitiaan, saya tidak menceburkan diri masuk ke dalam zona penuh risiko divisi acara. Pada periode kedua, saya tak dapat memilih dan nampaknya juga enggan untuk memilih sehingga saya tetaplah seorang pecundang. Tentunya, ada alasan rasional dan ini sudah bukan sebuah tempo untuk mengutarakan alasan rasional. Ini sebuah pengakuan tentang sesuatu yang perlu diperbaiki.

Singkat cerita, penemuan saya tentang inisiasi FISIP ialah bahwa tujuan utama yang ingin dicapai terlalu muluk. Rumusan ini saya dapatkan setelah serangkaian pembicaraan panjang, dengan berbagai orang: yang suka inisiasi, yang membenci inisiasi, yang pernah menjadi panitia inisiasi, yang tidak, dan mungkin pula dengan ruang hampa dalam khayalan.

Arah yang ingin diraih setiap panitia inisiasi, dalam 3 tahun terakhir dan saya dengar tahun ini juga, adalah memperkenalkan – yang sesungguhnya atau dalam praktik berarti ‘mendidik’ – calon mahasiswa tentang ‘dunia mahasiswa’. Dalam rumusan FISIP Atma Jaya, itu adalah manusia yang humanis dan demokratis. Tujuan sekundernya, keakraban.

Ketidakberesan yang terjadi ialah ‘mendidik mahasiswa/calon mahasiswa’ dalam 3 hari atau satu minggu katakan itu tidak realistis. Dengan bahasa yang agak sengit, itu konyol dan saya pernah menjadi bagian dari kekonyolan itu, tentu saja. Mungkin terlalu muram untuk berkata konyol karena sejarah memang butuh proses, yang panjang, yang sedikit sia-sia.

Yang paling mencolok dan teringat tugas paper. Apa pun alasan yang ada, tugas paper satu malam bukanlah kebiasaan yang baik. Tanpa dukungan buku itu bukan tradisi ilmiah. Tema pun bukan persoalan ilmiah. Itu persoalan negara atau masyarakat luas yang tidak butuh paper untuk diselesaikan. Ia hanya butuh tindakan, bukan wacana atau wicara.

Agaknya, memang ada kecenderungan dari tiap anggota masyarakat ini untuk turut campur dalam persoalan negara. Ini masyarakat yang gemar memikir negaranya. Lomba karya tulis ilmiah pun, dari pesan singkat yang dikirim ketua BEM, mengambil tema 'persoalan sosial' atau 'persoalan kenegaraan'. “Mengapa tidak membebaskan tema dan membiarkan mahasiswa bergelut dengan persoalan ilmiah yang diminatinya?” jawab saya. Mungkin ini kerinduan dari ilmu sosial yang ingin aplikatif. Mungkin tidak.

Tentang kepekaan sosial atau sejenisnya, saya bosan. Setidaknya, pelatihan atau acara serupa pernah saya alami dan tidak ada perubahan apa pun dalam diri saya. Dalam hal ini, sangat mungkin bahwa memang hati saya yang bebal. Memang terjadi sesuatu dalam satu hari acara itu, yaitu yang pada hari berikut menguap.

Apakah masih ada kerahasiaan dalam acara? Itu salah satu yang saya benci ketika saya menjadi mahasiswa baru dan bertanya kepada pendamping kelompok tentang acara besok pagi atau acara selanjutnya dan tidak memperoleh jawaban. Ketika saya menjadi pendamping kelompok, itu hal yang ingin paling saya beritahukan bila ada yang bertanya. Sekali lagi, saya mengambil tindakan seorang pecundang ketika ‘menghormati kesepakatan bersama’ untuk tidak membocorkan acara-acara yang ada.

Saya hanya tidak berharap ungkapan hati dan pemikiran ini merusak rencana panitia inisiasi 2009 – bila kedua ritual yang saya sebut masih dilanjutkan, tentunya. Bila pun ya, saya mohon maaf.

Saya membayangkan proses inisiasi yang sederhana, yang tidak sarat tugas dan tujuan baik. Tujuannya, keakraban dan semacam pengenalan fakultas, hal-hal mendasar dan juga hal-hal teknis yang perlu untuk mengikuti perkuliahan awal. Itu semacam pertemuan di warung kopi seperti dalam film Girl in the Café, mungkin.

Dalam ritual inisiasi yang sudah ada, memang tujuan keakraban ini tercapai. Summa cum laude, dengan pujian tertinggi, mungkin tepat untuk diberikan berkaitan dengan tujuan itu. Sayangnya, kegiatan itu terlalu boros energi, boros waktu, dan tidak efektif dalam mencapai tujuan utama.

Mengapa keakraban? Itu modal untuk melanjutkan kerja bersama atau pembelajaran bersama dalam fakultas, entah dalam UKM, KP, atau KS dan lainnya. Saya lebih percaya pada promosi mulut ke mulut daripada promosi dalam waktu sekitar 5 atau 10 menit yang menjemukan dan terus-menerus. Biarlah setiap orang yang tertarik mencari informasi sendiri tentang apa yang diminatinya.

Apa yang saya bayangkan tentang acara inisiasi? Saya membayangkan tidak bangun pukul 3 di hari pertama setelah pada malam sebelumnya lembur paper hingga pukul 12.00. dan mengerjakan tugas kelompok di kampus pada pagi sampai sore. Saya teringat ada teman yang masih berangkat dari Solo pada zaman saya inisiasi. Tak tahu dia bangun pukul berapa.

Mungkinkah di hari pertama inisiasi seorang mahasiswa baru dapat bangun pukul 06.00, sedikit berolahraga, mandi, dan sejenak sarapan sambil membaca koran pagi? Nampaknya, ada yang berkewajiban untuk membiasakan mereka bangun pagi karena kuliah pertama, sesi I, dimulai pukul 07.00. Kuliahlah yang merusak ritme bangun pagi, kalau ada yang mau jujur karena sekolah menengah juga masuk pukul 07.00. Tidak pukul 05.30.

Mungkinkah tidak membawa tas sarung atau sejenisnya? Saya membayangkan membawa beberapa bahan makanan untuk dimasak bersama karena hari pertama adalah sebuah pesta. Yang menyenangkan itu sering tidak baik, kata orang. Saya tidak percaya.

Saya senang dengan tesis A. S. Neill tentang kebahagian dan orang baik. Dia tidak percaya dengan anjuran, “Jadilah baik dan engkau akan bahagia.” Dia mengajari anak-anak yang bersekolah di Summerhill School, “Berbahagialah maka engkau akan menjadi orang baik.”

Tujuan menjadikan adik kelas ‘mahasiswa baik dan benar’ mungkin dapat dicapai dengan inisiasi yang membahagiakan. Tentunya, itu tidak selesai dalam 3 hari. Itu proses panjang. Di sini, saya mulai berbicara abstrak dan lebih baik saya hentikan. Mungkin masih bisa bersambung.

Dari Table Manner sampai Program KB


ditulis oleh Dandy Cahyo W

Inisiasi atau yang lebih kita kenal dengan nama ospek akhir-akhir ini dipertimbangkan eksistensinya, apakah inisiasi hanyalah sebuah tradisi dimana kakak angkatan bisa memplonco adik-adik akngkatannya yang baru lulus SMA ataukah insiasi bisa benar-benar menjadi sarana untuk memperbaharui pola pikir dari anak SMA ke anak kuliah.

Ada beberapa pandangan mengenai inisiasi dengan pandangan pertama adalah inisiasi yang cenderung tidak humanis. Beberapa saat lalu mungkin sebagian dari kita tahu tentang beberapa insiden inisiasi yang bahkan menyebabkan mahasiswa meninggal atau yang berbau-bau militeristik. Hal ini menurut penulis merupakan pola pikir “jadul” mengenai konsep inisiasi ini sendiri.

Memang hal ini sesuai dengan apa yang terjadi dalam sejarah dibentuknya ospek, dimana ospek ini pertama kali dirancang untuk mempersiapkan pelajar dalam perang sehingga didalamnya ada latihan fisik dan bersifat militaristik. Kemudian hal ini pun diwariskan turun temurun hingga mungkin muncullah insiden-insiden akhir-akhir ini. Mungkin hanya beberapa instansi pendidikan saja yang masih menerapkan konsep inisiasi seperti ini meskipun sudah banyak pihak yang memprotes.

Disamping itu ternyata ada kasus dimana inisiasi dimaknai berbeda oleh mahasiswa yang menginisiasi dan universitas. Pihak kampus melakukan inisiasi dengan hanya sekedar memberikan informasi administratif mengenai bagaimana cara KRS-an, membayar SKS, tata cara perkuliahan, apa saja unit kemahasiswaan yang ada dalam universitas itu sendiri dll. Lantas apakah tujuan mereka hanya mengenalkan “atribut” perkuliahan tersebut pada mahasiswa baru? Tak lain dan tak bukan adalah karena pihak instansi tersebut hanya akan mencari titik aman dimana tidak akan ada kekerasan atau militaristik didalam inisiasi.

Pihak mahasiswa yang jadi panitia inisiasi ini sendiri berpendapat bahwa inisiasi merupakan prosesi penyambutan calon-calon mahasiswa dengan mempersiapkan mereka secara matang. Menurut mereka, jika inisiasi bukan untuk melatih otot lagi, berarti inisiasi yang harusnya dilakukan adalah untuk melatih otak dan mental mahasiswa baru. Yang dimaksud “melatih” disini adalah lebih kearah mempersiapkan diri sebagai mahasiswa secara lahir dan batin. Inisiasi haruslah mengandung nilai-nilai yang menjadi pengantar sekaligus pegangan bagi calon-calon mahasiswa, dengan mengusung sedikit saja nilai-nilai yang akan dipegang mahasiswa baru maka ia akan lebih matang memasuki jenjang perkuliahan.

Analogi yang bisa menjelaskan substansi dari inisiasi sebagai persiapan dalam perkuliahan adalah analogi perjamuan makan. Seorang anak yang diundang makan malam oleh sebuah keluarga yang kaya raya yang mengenal table manner, baju sopan dll. Yang harus dipersiapkan seorang anak itu bukan hanya mengenai pakaian ataupun table manner itu sendiri, tetapi juga harus mempersiapkan tentang bagaimana ia harus bersikap, bagaimana ia harus terlebih dahulu mengenal sebagian watak-watak keluarga itu agar ia lebih siap memasuki atmosfer keluarga itu.

Inisiasi bukan hanya mengenalkan “baju” perkuliahan saja, tetapi memiliki esensi penting yang bisa menunjang kehidupannya di bangku perkuliahan. Bahkan ketika inisiasi dianggap hanya sebagai ajang sosialisasi administrasi, hal ini semakin memperkuat mengenai nilai-nilai yang ada dalam inisiasi.

Sosialisasi seperti sosialisasi KB bukan hanya mengenalkan kita akan kondom bahkan cara memakai kondom, tetapi juga menjelaskan mengenai mengapa kita perlu KB, apa latar belakang KB, apa akibatnya yang menurut penulis hal-hal ini mengandung nilai-nilai yang tersirat. Mungkin saja menurut pihak kampus inisiasi yang mengandung nilai-nilai tersebut merupakan ancaman bagi kampus karena dengan membentuk mahasiswa menjadi lebih kritis akan kebijakan-kebijakan kampus.

Sekarang apakah inisiasi yang hanya mengenalkan informasi administratif ini akan membentuk mahasiswa yang lebih matang daripada jika kita menambahkan nilai-nilai dalam pintu gerbang itu? Apakah mahasiswa bisa dikatakan unggul jika ia cuma bisa bayar SKS, menyusun KRS, dll? Apakah inisiasi akan dimaknai ajang plonco atau hanya mengenalkan “baju” perkuliahan semata ataukah sebagai pintu gerbang mempersiapkan mahasiswa yang matang, kritis dan gampang memasuki segala atmosfer yang ada dalam perkuliahan? Inisiasi kemudian penting dilakukan jika didalamnya mengandung nilai-nilai esensial mahasiswa.

Selasa, 21 Juli 2009

Membaca Kasus Roy


Belum lama ini, di Surabaya, seorang calon siswa SMA 16 Surabaya, Roy Aditya Perkasa (16) meninggal usai menjalani kegiatan MOS. Diduga penyebabnya adalah rasa stres yang dipicu oleh banyaknya tugas oleh senior dan tekanan peraturan.

Oleh Hendy Adhitya
Foto: dok. ANTARA

Sementara satu kejadian lagi di Jakarta Timur, seorang calon siswa Sekolah Pelayaran Menengah Pembangunan Tanah Merdeka, Jakarta Timur meninggal saat mengikuti kegiatan MOS. Siswa tersebut meninggal setelah diberi tugas berjalan sejauh lima kilometer sambil mengusung lima kilogram batu bata dalam tasnya.

Ironis. Saat tahu bahwa kegiatan yang semestinya menjadi ajang edutainment malah memakan korban. Insiden ini tentu menjadi peringatan kesekian kali buat para penyelenggara MOS dan program semacamnya.

Tapi bukan berarti (lagi-lagi) penyelenggara program yang musti disalahkan. Kemungkinan terburuk selalu ada, bahkan saat manusia akan dan sedang melakukan sesuatu. Kita tidak bisa mencegah masa depan. Kita hanya bisa memprediksi.

Maka sudah semestinya para pemerhati (masyarakat) dan penyelenggara turut membuat evaluasi acara ini dari tahun ke tahun. Bukan malah menghapus dan menyalahkan program acaranya.

Jangan menganggap bahwa MOS dan acara semacamnya menjadi satu-satunya acara yang bisa menimbulkan kematian. Tawuran antar siswa sekolah, pelecehan seksual, kekerasan saat kegiatan belajar mengajar bisa jadi lebih parah dari MOS.

Kritik bagi penyelenggara

Menanggapi dua kasus sebelumnya, para penyelenggara, atau panitia sepatutnya merekonstruksi ulang pemikiran signifikansi acara MOS dan semacamnya. Karena hanya lewat momentum inilah dia berperan sebagai gerbang masuk bagi anggota baru menuju lingkungan baru.

Maka singkirkan jauh-jauh penyakit masa lalu (baca:balas dendam) dan prioritaskan “apa-apa saja info penting yang patut mereka dapatkan” ke dalam konten acara tersebut.

Saya kira selain hal-hal yang bersifat normatif dan informatif (seperti pengenalan unsur-unsur sekolah), perlu juga konten yang edukatif. Ini perlu bagi pengembangan pengetahuan individu dan juga sebagai jendela awal bagi panitia untuk melihat kualitas kecerdasan adik-adik barunya. Acara bisa dikemas dalam diskusi, debat, atau tugas.

Hal ketiga yang perlu dimasukkan dalam program acara MOS dan semacamnya adalah konten yang bersifat mengenalkan kultur sosial masyarakat institusi tersebut. Di sinilah fungsi institusi akademik selain pengajaran diterapkan, yaitu bagaimana individu di dalam institusi ditanamkan nilai-nilai kebersamaan, kerja sama, dan guyub. Acara bisa berbentuk games, bakti sosial, malam keakraban, atau tugas baik individu atau kelompok.

Bisa dipastikan fungsi ketiga ini, yaitu fungsi mengenalkan kultur sosial/transfer kultur bisa lebih penting dari dua fungsi sebelumnya (normatif/informatif, dan edukatif). Karena di sinilah internalisasi nilai, budaya atau kultur ditanamkan. Ada proses emosi dan afektif yang menyertainya. Penanaman nilai ini punya satu tujuan: menciptakan kebersamaan yang solid dalam lingkup institusi dan masyarakat.
Karena seorang pelajar atau akademisi yang dibentuk tanpa kepekaan sosial, sama saja dengan mencipta pembunuh bertangan dingin.


Nah, berkaitan soal beban tugas dan peraturan, mari dikembalikan ke tujuan awal dan pemaknaan adanya tugas dan peraturan itu sendiri. Di sini pihak panitia jangan asal mencecap atau bahkan membuat tugas dan aturan yang tanpa asal-usul. Jika dalam kasus almarhum Roy dia dan siswa lainnya disuruh mencari kayu bakar dan tali rafia bening, maka barang-barang itu harus selalu punya tujuan yang terkandung (baca:makna). Nah di sini juga dibutuhkan pengertian dari para pemerhati (masyarakat, ortu) untuk bisa mengerti dan memahami bahwa hal tersebut berfungsi sebagai proses pembelajaran bagi anak-anaknya dalam lingkup sosial.

Selain itu, kekerasan fisik tampaknya menjadi momok menakutkan buat para peserta MOS dan acara pengenalan lainnya -meski tak semua institusi menerapkan hal ini-. Di sini panitia harus bisa bijak. Mereka harus berangkat dari visi dan misi institusi yang mengutamakan humanisasi pendidikan.
Para penyelenggara juga musti berkaca bahwa untuk memutus rantai kekerasan adalah dengan tidak melakukan kekerasan kembali.


Kritik buat Pemerhati

Tak bisa dipungkiri, relasi sosial manusia kaya akan prasangka. Parahnya lagi, prasangka ini sudah seperti mitos yang sudah pasti 100% kebenarannya.

Satu yang perlu diingat, pemerhati adalah bukan penyelenggara. Dia berada di posisi luar acara tapi bukan berarti tak memiliki kekuatan untuk mengubah. Pemerhati di sini tak cuma orangtua peserta yang punya keterkaitan langsung, tapi juga media massa, instansi pendidikan, pemutus kebijakan dan masyarakat pada umumnya.

Yang perlu dipikirkan di sini adalah bagaimana melihat acara pengenalan seperti ini sebagai proses belajar manusia menghadapi hidup yang kian kompleks. Hindari juga prasangka yang terlalu menggeneralisasi, padahal sifatnya kasuistik. Pun sebagai pemerhati yang cerdas tentunya sebisa mungkin menghindari sikap emosional dalam berpendapat.

####
Maka, sudah semestinya proses evaluasi dijalankan. Bukan malah membentuk kebijakan resmi yang menghapus acara ini. Acara ini tidak salah (juga tidak berarti benar), yang perlu diperbaiki adalah komponen-komponen yang membentuk acara itu. Semoga dengan kejadian (yang sudah kesekian ini) tidak membuat benak kita “bebal” lagi.

Kamis, 09 Juli 2009

Menggugat Inisiasi

Inisiasi, bagi saya, bukan sekadar mengenalkan -seperti definisi aslinya dalam kamus-. Ia juga bukan sekadar konsep yang bebas nilai dengan kenyataan di lapangan. Inisiasi bicara soal makna, juga berujar soal keterikatan emosi.

Oleh Hendy Adhitya

Sepertinya memang harus ada yang dijelaskan di sini. Berkait tentang isu yang beredar bahwa inisiasi, Ospek, MOS dan berbagai istilah lainnya, selalu dianggap sebagai momok. Dia dinilai sebagai sesuatu yang mengerikan. Ibarat mimpi buruk yang sebisa mungkin harus dihindari.

Tapi memang kita tak bisa menyangkal hal itu. Penerapan di masing-masing tempat juga punya ciri khasnya masing-masing. Jika memang berbeda seperti itu, maka sangat disayangkan masih ada saja pihak yang menggeneralisasi inisiasi sebagai kengerian, kekerasan dan dehumanisasi.

Inisiasi sejatinya, memang hanya bersifat mengenalkan. Penerapannya di lapangan bisa jadi diaplikasikan lewat acara-acara semacam “apa yang ada di UAJY”. Istilahnya, hal-hal yang disampaikan bersifat informatif dan seperlunya saja. Sifatnya sangat praktis dan tak neko-neko. Misalnya seperti hal-hal apa saja yang kira-kira bisa dimanfaatkan mahasiswa baru (maba) di tempat kuliahnya ini.

Namun inisiasi model itu tentunya punya kekurangan sendiri. Berdasarkan evaluasi dua tahun lalu, dimana saya juga ikut berkecimpung sebagai panitia, program acara pengenalan (informatif) punya dampak membuat bosan mahasiswa baru. Karena acara hanya bersifat komunikasi satu arah (meski ada kesempatan bertanya), dan cenderung statis.

Saya pun tak berani menjamin (walau ada buku panduan) informasi-informasi seperti itu bisa nempel lekat dalam ingatan maba usai inisiasi.

Mewujudkan inisiasi yang bermakna dan humanis

Inisiasi dalam praktiknya di lapangan, sudah saatnya bersiap mengalami ide perubahan. Berkaca melihat hasil evaluasi beberapa tahun lalu, semestinya nilai-nilai perbaikan dan “menjadi lebih baik dari hari kemarin” mulai diterapkan. Tentunya ini tak cuma bersifat momentum, ini harus kontinyu.

Jika inisiasi dianggap sebagai momok, maka ubahlah konsep dan praktik acaranya melawan stigma itu. Hal ini diperlukan, mengingat tren maba mengikuti inisiasi akhir-akhir ini terlihat ogah-ogahan.

Namun bukan berarti demi melawan stigma, beberapa acara “standar”nya diturunkan. Memang perlu ada kompromi, tapi untuk hal ini posisi plot-plot acara setidaknya harus berpatokan dahulu kepada “konsep”, “makna”, serta “tujuan” yang ingin dicapainya.

Cetak biru visi dan misi UAJY yang berniat membentuk mahasiswa humanis tentunya tak bisa didiskreditkan begitu saja. Inisiasi seharusnya bisa menjadi wadah buat calon mahasiswa merasakan seperti apa konsep dan praktik “memanusiakan manusia” itu. Maka, tentu saja segala bentuk dehumanisasi, seperti kekerasan fisik, penggojlokan, dan semacamnya musti disingkirkan.