Selasa, 21 Juli 2009

Membaca Kasus Roy


Belum lama ini, di Surabaya, seorang calon siswa SMA 16 Surabaya, Roy Aditya Perkasa (16) meninggal usai menjalani kegiatan MOS. Diduga penyebabnya adalah rasa stres yang dipicu oleh banyaknya tugas oleh senior dan tekanan peraturan.

Oleh Hendy Adhitya
Foto: dok. ANTARA

Sementara satu kejadian lagi di Jakarta Timur, seorang calon siswa Sekolah Pelayaran Menengah Pembangunan Tanah Merdeka, Jakarta Timur meninggal saat mengikuti kegiatan MOS. Siswa tersebut meninggal setelah diberi tugas berjalan sejauh lima kilometer sambil mengusung lima kilogram batu bata dalam tasnya.

Ironis. Saat tahu bahwa kegiatan yang semestinya menjadi ajang edutainment malah memakan korban. Insiden ini tentu menjadi peringatan kesekian kali buat para penyelenggara MOS dan program semacamnya.

Tapi bukan berarti (lagi-lagi) penyelenggara program yang musti disalahkan. Kemungkinan terburuk selalu ada, bahkan saat manusia akan dan sedang melakukan sesuatu. Kita tidak bisa mencegah masa depan. Kita hanya bisa memprediksi.

Maka sudah semestinya para pemerhati (masyarakat) dan penyelenggara turut membuat evaluasi acara ini dari tahun ke tahun. Bukan malah menghapus dan menyalahkan program acaranya.

Jangan menganggap bahwa MOS dan acara semacamnya menjadi satu-satunya acara yang bisa menimbulkan kematian. Tawuran antar siswa sekolah, pelecehan seksual, kekerasan saat kegiatan belajar mengajar bisa jadi lebih parah dari MOS.

Kritik bagi penyelenggara

Menanggapi dua kasus sebelumnya, para penyelenggara, atau panitia sepatutnya merekonstruksi ulang pemikiran signifikansi acara MOS dan semacamnya. Karena hanya lewat momentum inilah dia berperan sebagai gerbang masuk bagi anggota baru menuju lingkungan baru.

Maka singkirkan jauh-jauh penyakit masa lalu (baca:balas dendam) dan prioritaskan “apa-apa saja info penting yang patut mereka dapatkan” ke dalam konten acara tersebut.

Saya kira selain hal-hal yang bersifat normatif dan informatif (seperti pengenalan unsur-unsur sekolah), perlu juga konten yang edukatif. Ini perlu bagi pengembangan pengetahuan individu dan juga sebagai jendela awal bagi panitia untuk melihat kualitas kecerdasan adik-adik barunya. Acara bisa dikemas dalam diskusi, debat, atau tugas.

Hal ketiga yang perlu dimasukkan dalam program acara MOS dan semacamnya adalah konten yang bersifat mengenalkan kultur sosial masyarakat institusi tersebut. Di sinilah fungsi institusi akademik selain pengajaran diterapkan, yaitu bagaimana individu di dalam institusi ditanamkan nilai-nilai kebersamaan, kerja sama, dan guyub. Acara bisa berbentuk games, bakti sosial, malam keakraban, atau tugas baik individu atau kelompok.

Bisa dipastikan fungsi ketiga ini, yaitu fungsi mengenalkan kultur sosial/transfer kultur bisa lebih penting dari dua fungsi sebelumnya (normatif/informatif, dan edukatif). Karena di sinilah internalisasi nilai, budaya atau kultur ditanamkan. Ada proses emosi dan afektif yang menyertainya. Penanaman nilai ini punya satu tujuan: menciptakan kebersamaan yang solid dalam lingkup institusi dan masyarakat.
Karena seorang pelajar atau akademisi yang dibentuk tanpa kepekaan sosial, sama saja dengan mencipta pembunuh bertangan dingin.


Nah, berkaitan soal beban tugas dan peraturan, mari dikembalikan ke tujuan awal dan pemaknaan adanya tugas dan peraturan itu sendiri. Di sini pihak panitia jangan asal mencecap atau bahkan membuat tugas dan aturan yang tanpa asal-usul. Jika dalam kasus almarhum Roy dia dan siswa lainnya disuruh mencari kayu bakar dan tali rafia bening, maka barang-barang itu harus selalu punya tujuan yang terkandung (baca:makna). Nah di sini juga dibutuhkan pengertian dari para pemerhati (masyarakat, ortu) untuk bisa mengerti dan memahami bahwa hal tersebut berfungsi sebagai proses pembelajaran bagi anak-anaknya dalam lingkup sosial.

Selain itu, kekerasan fisik tampaknya menjadi momok menakutkan buat para peserta MOS dan acara pengenalan lainnya -meski tak semua institusi menerapkan hal ini-. Di sini panitia harus bisa bijak. Mereka harus berangkat dari visi dan misi institusi yang mengutamakan humanisasi pendidikan.
Para penyelenggara juga musti berkaca bahwa untuk memutus rantai kekerasan adalah dengan tidak melakukan kekerasan kembali.


Kritik buat Pemerhati

Tak bisa dipungkiri, relasi sosial manusia kaya akan prasangka. Parahnya lagi, prasangka ini sudah seperti mitos yang sudah pasti 100% kebenarannya.

Satu yang perlu diingat, pemerhati adalah bukan penyelenggara. Dia berada di posisi luar acara tapi bukan berarti tak memiliki kekuatan untuk mengubah. Pemerhati di sini tak cuma orangtua peserta yang punya keterkaitan langsung, tapi juga media massa, instansi pendidikan, pemutus kebijakan dan masyarakat pada umumnya.

Yang perlu dipikirkan di sini adalah bagaimana melihat acara pengenalan seperti ini sebagai proses belajar manusia menghadapi hidup yang kian kompleks. Hindari juga prasangka yang terlalu menggeneralisasi, padahal sifatnya kasuistik. Pun sebagai pemerhati yang cerdas tentunya sebisa mungkin menghindari sikap emosional dalam berpendapat.

####
Maka, sudah semestinya proses evaluasi dijalankan. Bukan malah membentuk kebijakan resmi yang menghapus acara ini. Acara ini tidak salah (juga tidak berarti benar), yang perlu diperbaiki adalah komponen-komponen yang membentuk acara itu. Semoga dengan kejadian (yang sudah kesekian ini) tidak membuat benak kita “bebal” lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar