Kamis, 30 Juli 2009

Inisiasi


ditulis oleh Ining Isaias

“Apa yang paling Anda ingat dari inisiasi?” tanya Bu Tyas dalam perjalanan setelah mengantar seorang teman yang sakit ke Panti Rapih. Tentang perasaan, yang saya ingat adalah bahwa itu hari-hari yang segera ingin kulewati. Bukan hanya karena ingin segera masuk ke dalam ruang kuliah. Itu juga karena acara tersebut beberapa membosankan, beberapa saja menarik, dan yang paling dihindari setiap orang ialah bahwa itu bikin stres, dalam arti menciptakan – entah bagaimana – ketegangan.

Acara joget-joget dan nyanyi-nyanyi bersama di akhir itu mengharukan, memang. Ada ketidaksalingkenalan yang cair Ada energi kegembiraan yang lepas.

Dalam dua tahun terakhir ini, menjelang bulan Agustus, saya sering gelisah. Saya merasa ada beberapa hal yang tidak tepat dalam acara inisiasi. Inisiasi FISIP Atma Jaya, bagi saya, hanyalah semacam ritual. Itu kesimpulan saya dari pengalaman menjadi peserta inisiasi, dan dua kali menjadi panitia. Tentunya, saya ikut andil dalam pelanggengan ritual itu.

Pada dua tahun lalu, saya tidak cukup berani ambil risiko. Dalam kepanitiaan, saya tidak menceburkan diri masuk ke dalam zona penuh risiko divisi acara. Pada periode kedua, saya tak dapat memilih dan nampaknya juga enggan untuk memilih sehingga saya tetaplah seorang pecundang. Tentunya, ada alasan rasional dan ini sudah bukan sebuah tempo untuk mengutarakan alasan rasional. Ini sebuah pengakuan tentang sesuatu yang perlu diperbaiki.

Singkat cerita, penemuan saya tentang inisiasi FISIP ialah bahwa tujuan utama yang ingin dicapai terlalu muluk. Rumusan ini saya dapatkan setelah serangkaian pembicaraan panjang, dengan berbagai orang: yang suka inisiasi, yang membenci inisiasi, yang pernah menjadi panitia inisiasi, yang tidak, dan mungkin pula dengan ruang hampa dalam khayalan.

Arah yang ingin diraih setiap panitia inisiasi, dalam 3 tahun terakhir dan saya dengar tahun ini juga, adalah memperkenalkan – yang sesungguhnya atau dalam praktik berarti ‘mendidik’ – calon mahasiswa tentang ‘dunia mahasiswa’. Dalam rumusan FISIP Atma Jaya, itu adalah manusia yang humanis dan demokratis. Tujuan sekundernya, keakraban.

Ketidakberesan yang terjadi ialah ‘mendidik mahasiswa/calon mahasiswa’ dalam 3 hari atau satu minggu katakan itu tidak realistis. Dengan bahasa yang agak sengit, itu konyol dan saya pernah menjadi bagian dari kekonyolan itu, tentu saja. Mungkin terlalu muram untuk berkata konyol karena sejarah memang butuh proses, yang panjang, yang sedikit sia-sia.

Yang paling mencolok dan teringat tugas paper. Apa pun alasan yang ada, tugas paper satu malam bukanlah kebiasaan yang baik. Tanpa dukungan buku itu bukan tradisi ilmiah. Tema pun bukan persoalan ilmiah. Itu persoalan negara atau masyarakat luas yang tidak butuh paper untuk diselesaikan. Ia hanya butuh tindakan, bukan wacana atau wicara.

Agaknya, memang ada kecenderungan dari tiap anggota masyarakat ini untuk turut campur dalam persoalan negara. Ini masyarakat yang gemar memikir negaranya. Lomba karya tulis ilmiah pun, dari pesan singkat yang dikirim ketua BEM, mengambil tema 'persoalan sosial' atau 'persoalan kenegaraan'. “Mengapa tidak membebaskan tema dan membiarkan mahasiswa bergelut dengan persoalan ilmiah yang diminatinya?” jawab saya. Mungkin ini kerinduan dari ilmu sosial yang ingin aplikatif. Mungkin tidak.

Tentang kepekaan sosial atau sejenisnya, saya bosan. Setidaknya, pelatihan atau acara serupa pernah saya alami dan tidak ada perubahan apa pun dalam diri saya. Dalam hal ini, sangat mungkin bahwa memang hati saya yang bebal. Memang terjadi sesuatu dalam satu hari acara itu, yaitu yang pada hari berikut menguap.

Apakah masih ada kerahasiaan dalam acara? Itu salah satu yang saya benci ketika saya menjadi mahasiswa baru dan bertanya kepada pendamping kelompok tentang acara besok pagi atau acara selanjutnya dan tidak memperoleh jawaban. Ketika saya menjadi pendamping kelompok, itu hal yang ingin paling saya beritahukan bila ada yang bertanya. Sekali lagi, saya mengambil tindakan seorang pecundang ketika ‘menghormati kesepakatan bersama’ untuk tidak membocorkan acara-acara yang ada.

Saya hanya tidak berharap ungkapan hati dan pemikiran ini merusak rencana panitia inisiasi 2009 – bila kedua ritual yang saya sebut masih dilanjutkan, tentunya. Bila pun ya, saya mohon maaf.

Saya membayangkan proses inisiasi yang sederhana, yang tidak sarat tugas dan tujuan baik. Tujuannya, keakraban dan semacam pengenalan fakultas, hal-hal mendasar dan juga hal-hal teknis yang perlu untuk mengikuti perkuliahan awal. Itu semacam pertemuan di warung kopi seperti dalam film Girl in the Café, mungkin.

Dalam ritual inisiasi yang sudah ada, memang tujuan keakraban ini tercapai. Summa cum laude, dengan pujian tertinggi, mungkin tepat untuk diberikan berkaitan dengan tujuan itu. Sayangnya, kegiatan itu terlalu boros energi, boros waktu, dan tidak efektif dalam mencapai tujuan utama.

Mengapa keakraban? Itu modal untuk melanjutkan kerja bersama atau pembelajaran bersama dalam fakultas, entah dalam UKM, KP, atau KS dan lainnya. Saya lebih percaya pada promosi mulut ke mulut daripada promosi dalam waktu sekitar 5 atau 10 menit yang menjemukan dan terus-menerus. Biarlah setiap orang yang tertarik mencari informasi sendiri tentang apa yang diminatinya.

Apa yang saya bayangkan tentang acara inisiasi? Saya membayangkan tidak bangun pukul 3 di hari pertama setelah pada malam sebelumnya lembur paper hingga pukul 12.00. dan mengerjakan tugas kelompok di kampus pada pagi sampai sore. Saya teringat ada teman yang masih berangkat dari Solo pada zaman saya inisiasi. Tak tahu dia bangun pukul berapa.

Mungkinkah di hari pertama inisiasi seorang mahasiswa baru dapat bangun pukul 06.00, sedikit berolahraga, mandi, dan sejenak sarapan sambil membaca koran pagi? Nampaknya, ada yang berkewajiban untuk membiasakan mereka bangun pagi karena kuliah pertama, sesi I, dimulai pukul 07.00. Kuliahlah yang merusak ritme bangun pagi, kalau ada yang mau jujur karena sekolah menengah juga masuk pukul 07.00. Tidak pukul 05.30.

Mungkinkah tidak membawa tas sarung atau sejenisnya? Saya membayangkan membawa beberapa bahan makanan untuk dimasak bersama karena hari pertama adalah sebuah pesta. Yang menyenangkan itu sering tidak baik, kata orang. Saya tidak percaya.

Saya senang dengan tesis A. S. Neill tentang kebahagian dan orang baik. Dia tidak percaya dengan anjuran, “Jadilah baik dan engkau akan bahagia.” Dia mengajari anak-anak yang bersekolah di Summerhill School, “Berbahagialah maka engkau akan menjadi orang baik.”

Tujuan menjadikan adik kelas ‘mahasiswa baik dan benar’ mungkin dapat dicapai dengan inisiasi yang membahagiakan. Tentunya, itu tidak selesai dalam 3 hari. Itu proses panjang. Di sini, saya mulai berbicara abstrak dan lebih baik saya hentikan. Mungkin masih bisa bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar